Jumat, 17 Juni 2016

Ancaman bagi yang membatalkan Puasa Ramadhan

Penulis : Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly

Dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian memegang dhabaya[1], membawaku ke satu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata, “Naik”. Aku katakan, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, ‘Kami akan memudahkanmu’. Akupun naik hingga sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun bertanya, ‘Suara apakah ini?’. Mereka berkata, ‘Ini adalah teriakan penghuni neraka’. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki di atas, mulut mereka rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’ Keduanya menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka.[2] .” [Riwayat An-Nasa'i dalam Al-Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 4/166 dan Ibnu Hibban (no.1800-zawaidnya) dan Al-Hakim 1/430 dari jalan Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Salim bin 'Amir dari Abu Umamah. Sanadnya shahih].

Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa berbuka satu hari saja pada bulan Ramadhan dengan sengaja, tidak akan bisa diganti walau dengan puasa sepanjang zaman kalau dia lakukan”
Hadits ini lemah, tidak shahih. Pembahasan hadits ini secara rinci akan di bahas di akhir kitab ini.

Footnote:
[1]. Yakni : dua lenganku
[2]. Sebelum tiba waktu berbuka puasa

(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=303

Hukum-hukum Dalam Puasa Ramadhan

Penulis : Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami

Ketahuilah wahai hamba ALLAH – mudah-mudahan ALLAH mengajarimu dan mengajariku – bahwasanya ada pahala yang amat besar, kebaikan yang merata, yang tidak bisa menghitungnya kecuali ALLAH, tidak akan didapat kecuali oleh orang yang menunaikan puasa Ramadhan sesuai dengan tuntunan dan sunnah penutup para Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam, yakni dalam masalah hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban yang besar di bulan yang diberkahi ini.

Sekarang kami akan mulai menerangkan hukum-hukum tersebut tanpa taklid kepada seorangpun mengambil dari Al Quranul Adzim, hadits-hadist yang shahih dan hasan dari Sunnah yang suci dan pemahaman salafus shalih, imam yang empat dan orang sebelum mereka dari kalangan shahabat dan tabi’in. Cukuplah ini bagimu sebagai dalil.

Kami juga telah memilih pendapat-pendapat madzhab fiqih yang paling cocok dengan dalil serta ijtihad mereka yang paling adil.

(Dilanjutkan dalam Bab-Bab lainnya, red).

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=304

Mengawali dan mengakhiri Bulan Ramadhan

Penulis : Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami


Menjelang Bulan Ramadhan


1. Menghitung hari bulan Sya’ban
Ummat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramadhan.
Jika terhalang awan, hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit, bumi dan menjadikan bulan sabit tempat-tempat, agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Puasalah kalian karena melihat hilal (bulan baru, red) dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR Bukhari (4/106) dan Muslim (1081).
Dari Abdullah bin Umar Radiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya’ban.” (HR Al Bukhari (4/102) dan Muslim (1080))
Dari Adi bin Hatim Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ketiga puluh.” (HR At Thahawi dalam Musykilul Atsar (no 501), Ahmad (4;/377), At Thabrani dalam al Kabir (17/171). Dalam sanadnya ada Musalid bin Said, beliau dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid (3/146), akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al Irwaul Ghalil (901) karya syaikhuna Al Albany hafidhohullah).

2. Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak [yaitu hari yang diragukan , apakah telah memasuki bulan Ramadhan atau belum, ed]
Oleh karena itu, seyogyanya seorang muslim tidak mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda : “Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa, maka berpuasalah.” (HR Muslim (573 – mukhtashar dengan muallaqnya).
Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam, barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qashim Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Shillah bin Zufar meriwayatkan dari Ammar : “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim.” (Yaitu, hari yang masih diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum, ed). (HR Bukhari (4/119), dimaushulkan oleh Abu Daud (3334), Tirmidzi (686), Ibnu Majah (3334), An Nasa’I (2199) dari jalan Amr bin Qais al Mala’l dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni as Sabi’I mudallis dan dia telah ‘an’anah dalam hadits ini, dia juga tercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukung) dibawakan oleh al Hadits Ibnu Hajar al Atsqalani dalam Ta’liqu Ta’liq (3/141-142) sehingga beliau menghasankan hadits ini.

3. Jika seorang muslim telah melihat hilal hendaknya kaum muslimin berpuasa atau berbuka
Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya’ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah.” (HR An Nasa’I (4/133), Ahmad (4/321), Ad Daruquthni (2/167) dari jalan Husain bin Al Harits al Jadali dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khattab dari para shahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan sanadnya hasan. Lafadz di atas adalah para riwayat An Nasa’I, Ahmad menambahkan : “Dua orang muslim.”
Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa)., dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pun menyuruh manusia berpuasa.” (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187).
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab “Menjelang Bulan Ramadhan”, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia )

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=755

Waktu Berpuasa dan yang berkaitan tentangnya

Penulis : Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly

Pada awalnya, para sahabat Nabiyul Ummi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berpuasa dan hadir waktu berbuka mereka makan serta menjima’i isterinya selama belum tidur. Namun jika seseorang dari mereka tidur sebelum menyantap makan malamnya (berbuka), dia tidak boleh melakukan sedikitpun perkara-perkara di atas.

Kemudian Allah dengan keluasan rahmat-Nya memberikan rukhshah (keringanan) hingga orang yang tertidur disamakan hukumnya dengan orang yang tidak tidur. Hal ini diterangkan dengan rinci dalam hadits berikut.

Dari Barra’ bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Dahulu sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam jika salah seorang diantara mereka puasa dan tiba waktu berbuka, tetapi tertidur sebelum berbuka, tidak diperbolehkan makan malam dan siangnya hingga sore hari lagi. Sungguh Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, ketika tiba waktu berbuka beliau mendatangi isterinya kemudian berkata : “Apakah engkau punya makanan ?” Isterinya menjawab : “Tidak, namun aku akan pergi mencarikan untukmu” Dia bekerja pada hari itu hingga terkantuk-kantuk dan tertidur, ketika isterinya kembali dan melihatnya isterinyapun berkata ” Khaibah”[1] untukmu” . Ketika pertengahan hari diapun terbangun, kemudian menceritakan perkara tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga turunlah ayat ini, (yang artinya) : “Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur (berjima’) dengan isteri-isterimu” [Al-Baqarah : 187]

Dan turun pula firman Allah (yang artinya) : “Dan makan minumlah sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar” [Al-Baqarah : 187] [Hadits Riwayat Bukhari 4/911].

Inilah rahmat Rabbani yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang berkata : “Kami mendengar dan kami taat wahai Rabb kami, ampunilah dosa kami dan kepada-Mu lah kami kembali” (yakni) dengan memberikan batasan waktu puasa : dimulainya puasa dan waktu berakhirnya. (puasa) dimulai dari terbitnya fajar hingga hilangnya siang dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnya bundaran matahari di ufuk.

1. Benang Putih dan Benang Hitam
Ketika turun ayat tersebut sebagian sahabat Nabi Shalallalahu ‘alaihi wa sallam sengaja mengambil iqal (tali) hitam dan putih [2] kemudian mereka letakkan di bawah bantal-bantal mereka, atau mereka ikatkan di kaki mereka. Dan mereka terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua iqal tersebut (yakni dapat membedakan antara yang putih dari yang hitam-pent).

Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu berkata : Ketika turun ayat (yang artinya) : “Sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar” [Al-Baqarah : 187]. Aku mengambil iqal hitam digabungkan dengan iqal putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan padanya perbuatanku tersebut. Beliaupun bersabda “Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang” [3].

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Ketika turun ayat “Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam”. Ada seorang pria jika ingin puasa, ia mengikatkan benang hitam dan putih di kakinya, dia terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua benang tersebut. Kemudian Allah menurunkan ayat : “(Karena) terbitnya fajar”, mereka akhirnya tahu yang dimaksud adalah hitam (gelapnya) malam dan terang (putihnya) siang. [Hadits Riwayat Bukhari 4/114 dan Muslim 1091]

Setelah penjelasan Qur’ani, sungguh telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabatnya batasan (untuk membedakan) serta sifat-sifat tertentu, hingga tidak ada lagi ruang untuk ragu atau tidak mengetahuinya.

Bagi Allah-lah mutiara penyair
Tidak benar sedikitpun dalam akal jikalau
siang butuh bukti.

2. Fajar ada dua
Diantara hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penjelasan yang rinci, bahwasanya fajar itu ada dua.
Fajar kadzib : Tidak dibolehkan ketika itu shalat shubuh dan belum diharamkan bagi yang berpuasa untuk makan dan minum.
Fajar shadiq : Yang mengharamkan makan bagi yang puasa, dan sudah boleh melaksanakan shalat shubuh.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Fajar itu ada dua : Yang pertama tidak mengharamkan makan (bagi yang puasa), tidak halal shalat ketika itu, yang kedua mengharamkan makan dan telah dibolehkan shalat ketika terbit fajar tersebut” [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/210, Al-Hakim 1/191 dan 495, Daruquthni 2/165, Baihaqi 4/261 dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari Atha dari Ibnu Abbas, Sanadnya SHAHIH. Juga ada syahid dari Jabir, diriwayatkan oleh Hakim 1/191, Baihaqi 4/215, Daruquthni 2/165, Diikhtilafkan maushil atau mursal, dan syahid dari Tsauban, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/27]

Dan ketahuilah -wahai saudara muslim- bahwa :

1. Fajar Kadzib adalah warna putih yang memancar panjang yang menjulang seperti ekor binatang gembalaan.
2. Fajar Shadiq adalah warna yang memerah yang bersinar dan tampak di atas puncak bukit dan gunung-gunung, dan tersebar di jalanan dan di jalan raya serta di atap-atap rumah. Fajar inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan shalat.

Dari Samurah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “Janganlah kalian tertipu oleh adzannya Bilal dan jangan pula tertipu oleh warna putih yang memancar ke atas sampai melintang” [Hadits Riwayat Muslim 1094]

Dari Thalq bin Ali, (bahwasanya) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “Makan dan minumlah, jangan kalian tertipu oleh fajar yang memancar ke atas. Makan dan minumlah sampai warna merang membentang” [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/76, Abu Daud 2/304, Ahmad 4/66, Ibnu Khuzaimah 3/211 dari jalan Abdullah bin Nu'man dari Qais bin Thalaq dari bapaknya, sanadnya Shahih. Abdullah bin Nu'man dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Ibnu Hibban dan Al-Ajali. Ibnu Khuzaimah tidak tahu keadilannya. Ibnu Hajar berkata Maqbul!!].

Ketahuilah -mudah-mudahan engkau diberi taufiq untuk mentaati Rabbmu- bahwasanya sifat-sifat fajar shadiq adalah yang bercocokan dengan ayat yang mulia.
(yang artinya) : “Hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar”
Karena cahaya fajar jika membentang di ufuk atas lembah dan gunung-ghunung akan tampak seperti benang putih, dan akan tampak di atasnya benang hitam yakni sisa-sisa kegelapan malam yang pergi menghilang.

Jika telah jelas hal tersebut padamu berhentilah dari makan, minum dan berjima’. Kalau di tanganmu ada gelas berisi air atau minuman, minumlah dengan tenang, karena itu merupakan rukhshah (keringanan) yang besar dari Dzat Yang Paling Pengasih kepada hamba-hamba-Nya yang puasa. Minumlah walaupun engkau telah mendengar adzan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan padahal gelas ada di tangannya, janganlah ia letakkan hingga memenuhi hajatnya” [Hadits Riwayat Abu Daud 235, Ibnu Jarir 3115. Al-Hakim 1/426, Al-Baihaqi 2/218, Ahmad 3/423 dari jalan Hamad dari Muhammad bin Amir dari Abi Salamah dari Abu Hurairah, sanadnya HASAN. Ada jalan lain diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Hakim 1/203,205 dari jalan Hammad dari Amr bin Abi Amaran dari Abu Hurairah, sanadnya shahih].

Yang dimaksud adzan dalam hadits di atas adalah adzan subuh yang kedua karena telah terbitnya Fajar Shadiq dengan dalil tambahan riwayat, yang diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir At-Thabari 2/102 dan selain keduanya setelah hadits di atas.
(yang artinya) : “Dahulu seorang muadzin melakukan adzan ketika terbit fajar” [Riwayat tambahan ini membatalkan ta'liq Syaikh Habiburrahman Al-Adhami Al-Hanafi terhadap Mushannaf Abdur Razaq 4/173 ketika berkata : "Ini dimungkinkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya muadzin adzan sebelum terbit fajar!!" Walhamdulillahi wahdah].

Yang mendukung makna seperti ini adalah riwayat Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu.
“Telah dikumandangkan iqamah shalat, ketika itu di tangan Umar masih ada gelas, dia berkata : ‘Boleh aku meminumnya ya Rasulullah ?’ Rasulullah bersabda : “Ya’ minumlah” [Hadits Riwayat Ibnu Jarir 2/102 dari dua jalan dari Abu Umamah]

Jelaslah bahwa menghentikan makan sebelum terbit Fajar Shadiq dengan dalih hati-hati adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata dalam Al-Fath 4/199 : “Termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar adalah yang diada-adakan pada zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sepertiga jam sebelum waktunya di bulan Ramadhan, serta memadamkan lampu-lampu yang dijadikan sebagai tanda telah haramnya makan dan minum bagi orang yang mau puasa, mereka mengaku perbuatan ini dalam rangka ikhtiyath (hati-hati) dalam ibadah, tidak ada yang mengetahuinya kecuali beberapa gelintir manusia saja, hal ini telah menyeret mereka hingga melakukan adzan ketika telah terbenam matahari beberapa derajat untuk meyakinkan telah masuknya waktu -itu sangkaan mereka- mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur hingga menyelisihi sunnah. Oleh karena itu sedikit pada mereka kebaikan dan banyak tersebar kejahatan pada mereka. Allahul musta’an”.

Kami katakan : Bid’ah ini, yakni menghentikan makan (imsak) sebelum fajar dan mengakhirkan waktu berbuka, tetap ada dan terus berlangsung di zaman ini. Kepada Allah-lah kita mengadu.

3. Menyempurnakan puasa hingga malam
Jika telah datang malam dari arah timur, menghilangkan siang dari arah barat dan matahari telah terbenam bebukalah orang yang puasa.

Dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini dan terbenam matahari, telah berbukalah orang yang puasa” [Hadits Riwayat Bukhari 4/171, Muslim 1100. Perkataannya : "Telah berbuka orang yang puasa" yakni dari sisi hukum bukan kenyataan karena telah masuk puasa].

Hal ini terwujud setelah terbenamnya matahari, walaupun sinarnya masih ada. Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau puasa menyuruh seseorang untuk naik ke satu ketinggian, jika orang itu berkata : “Matahari telah terbenam”, beliaupun berbuka [Hadits Riwayat Al-Hakim 1/434, Ibnu Khuzaimah 2061, di SHAHIH kan oleh Al-Hakim menurut syarat Bukhari-Muslim. Perkataan Aufa : Yakni naik atau melihat.]

Sebagian orang menyangka malam itu tidak terwujud langsung setelah terbenamnya matahari, tapi masuknya malam setelah kegelapan menyebar di timur dan di barat. Sangkaan seperti ini pernah terjadi pada sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka diberi pemahaman bahwa cukup dengan adanya awal gelap dari timur setelah hilangnya bundaran matahari.

Dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhu : “Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar (perjalanan), ketika itu kami sedang berpuasa (di bulan Ramadhan). Ketika terbenam matahari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sebagian kaum : “Wahai Fulan (dalam riwayat Abu Daud : Wahai Bilal) berdirilah, ambilkan kami air”. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, kalau engkau tunggu hingga sore”, dalam riwayat lain : matahari). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Turun, ambilkan air”. Bilal pun turun, kemudian Nabi minum. Beliau bersabda, “Kalau kalian melihatnya niscaya akan kalian lihat dari atas onta, yakni matahari”. Kemudian beliau melemparkan (dalam riwayat lain : berisyarat dengan tangannya) (Dalam riwayat Bukhari- Muslim : berisyarat dengan telunjuknya ke arah kiblat) kemudian berkata : “Jika kalian melihat malam telah datang dari sini maka telah berbuka orang yang puasa”. [Hadits Riwayat Bukhari 4/199, Muslim 1101, Ahmad 4/381, Abu Daud 2352. Tambahan pertama dalam riwayat Muslim 1101. Tambahan kedua dalam riwayat Abdur Razaq 4/226. Perkataan beliau : "Ambilkan segelas air" yakni : siapkan untuk kami minuman dan makanan. Ashal Jadh : (mengaduk) menggerakkan tepung atau susu dengan air dengan menggunakan tongkat (kayu)]

Telah ada riwayat yang menegaskan bahwa para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti perkataannya, dan perbuatan mereka sesuai dengan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Said Al-Khudri berbuka ketika tenggelam (hilangnya) bundaran matahari. [Diriwayatkan oleh Bukhari dengan mu'allaq 4/196 dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 3/12 dan Siad bin Manshur sebagaimana dalam Al-Fath 4/196, Umdatul Qari 9/130, lihat Taghliqut Ta'liq 3/195]

Peringatan :
Hukum-hukum puasa yang diterangkan tadi berkaitan dengan pandangan mata manusia, tidak boleh bertakalluf atau berlebihan dengan mengintai hilal dan mengawasi dengan alat-alat perbintangan yang baru atau berpegangan dengan penanggalan ahli nujum yang menyelewengkan kaum muslimin dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga menjadi sebab sedikitnya kebaikan pada mereka [Barangsiapa yang ingin tambahan penjelasan dan rincian yang baik akan dia temukan dalam kitab : Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 25/126-202, Al-Majmu' Syarhul Muhadzab 6/279 karya Imam Nawawi, Talkhisul Kabir 2/187-188 karya Ibnu Hajar] Wallahu a’alam.

Peringatan Kedua :
Di sebagian negeri Islam para muadzin menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun !! Hingga mereka mengakhirkan berbuka puasa dan menyegerakan sahur, akhirnya mereka menentang petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di negeri-negeri seperti ini ada sekelompok orang yang bersemangat dalam mengamalkan sunnah dengan berbuka berpedoman pada matahari dan sahur berpedoman fajar. Jika terbenam matahari mereka berbuka, jika terbit fajar shadiq -sebagaimana telah dijelaskan- mereka menghentikan makan dan minum. Inilah perbuatan syar’i yang shahih, tidak diragukan lagi. Barangsiapa yang menyangka mereka menyelisihi sunnah, ia telah berprasangka dengan sangkaan yang salah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jelaslah, ibadah puasa berkaitan dengan matahari dan fajar, jika ada orang yang menyelisihi kaidah ini, mereka telah salah, bukan orang yang berpegang dengan ushul dan mengamalkannya. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu, (dan) tetap mengamalkan ushul yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib. Camkanlah ini dan pahamilah.!

——————————————————————————–

Footnote :
1. Dari Al-Khaibah yaitu yang diharamkan, dikatakan khoba yakhibu jika tidak mendapat permintaannya mencapai tujuannya.
2. Iqal yaitu tali yang dipakai untuk mengikat unta, Mashabih 2/422
3. Hadits Riwayat Bukhari 4/113 dan Muslim 1090, dhahir ayat ini bahwa Adi dulunya hadirs ketika turun ayat ini, berarti telah Islam, tetapi tidak demikian, karena diwajibkannya puasa tahun kedua dari hijrah, Adi masuk Islam tahun sembilan atau kesepuluh, adapun tafsir Adi ketika turun : yakni ketika aku masuk Islam dan dibacakan surat ini kepadaku, inilah yang rajih sebagaimana riwayat Ahmad 4/377 : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari shalat dan puasa, beliau berkata : “Shalatlah begini dan begini dan puasalah, jika terbenam matahari makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, puasalah tiga puluh hari, kecuali kalau engkau melihat hilal sebelum itu, aku mengambil dua benang dari rambut hitam dan putih….hadits” Al-Fathul 4/132-133 dengan perubahan.

(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=306

Sahur dalam Puasa di Bulan Ramadhan

Penulis : Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly

1. Hikmah Sahur
Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” [Al-Baqarah : 183].

Waktu dan hukumnya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlul Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan menikah (jima’) setelah tidur. Yaitu jika salah seorang dari mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam selanjutnya, demikian pula diwajibkan atas kaum muslimin sebagaimana telah kami terangkan di muka karena dihapus hukum tersebut [Lihat sebagai tambahan tafsir-tafsir berikut : Zadul Masir 1/184 oleh Ibnul Jauzi, Tafsir Quranil 'Adhim 1/213-214 oleh Ibnu Katsir, Ad-Durul Mantsur 1/120-121 karya Imam Suyuthi].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.

Dari Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur” [Hadits Riwayat Muslim 1096]

2. Keutamaannya

a. Makan Sahur Adalah Barokah.
Dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barokah itu ada pada tiga perkara : Al-Jama’ah, Ats-Tsarid dan makan Sahur” [Hadits riwayat Thabrani dalam Al-Kabir 5127, Abu Nu'aim dalam Dzikru Akhbar AShbahan 1/57 dari Salman Al-Farisi Al-Haitsami berkata Al-Majma 3/151 dalam sanadnya ada Abu Abdullah Al-bashiri, Adz-Dzahabi berkata : "Tidak dikenal, perawi lainnya tsiqat (dipercaya, red). Hadits ini mempunyai syahid (saksi penguat, red)dalam riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Munadih Auhumul Sam'i watafriq 1/203, sanadnya hasan]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya Allah menjadikan barokah pada makan sahur dan takaran” [Hadits Riwayat As-Syirazy (Al-Alqzb) sebagaimana dalam Jami'us Shagir 1715 dan Al-Khatib dalam Al-Muwaddih 1/263 dari Abu Hurairah dengan sanad yang lalu. Hadits ini HASAN sebagai syawahid dan didukung oleh riwayat sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalam Fawaidul Qadir 2/223, sepertinya ia belum menemukan sanadnya.!!]

Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Aku masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan” [Hadits Riwayat Nasa'i 4/145 dan Ahmad 5/270 sanadnya shahih].

Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa karena merasa ringan orang yang puasa.

Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda ‘Radhiyallahu ‘anhuma (yang artinya) : “Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur”. [Adapun hadits Al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abu Daud 2/303, Nasa'i 4/145 dari jalan Yunus bin Saif dari Al-Harits bin ZIyad dari Abi Rahm dari Irbath. Al-Harits majhul. Sedangkan hadits Abu Darda diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 223-Mawarid dari jalan Amr bin Al-Harits dari Abdullah bin Salam dari Risydin bin Sa'ad. Risydin dhaif. Hadits ini ada syahidnya dari hadits Al-Migdam bin Ma'dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/133. Nasaai 4/146 sanadnya shahih, kalau selamat dari Baqiyah karena dia menegaskan hadits dari Syaikhya! Akan tetapi apakah itu cukup atau harus tegas-tegas dalam seluruh thabaqat hadits, beliau termasuk mudallis taswiyah ?! Maka hadits ini shahih].

b. Allah dan Malaikat-Nya Bershalawat Kepada Orang-Orang yang Sahur.
Mungkin barakah sahur yang tersebar adalah (karena) Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo’a kepada Allah agar mema’afkan mereka agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur” [Telah lewat takhrijnya].

Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling afdhal adalah korma.

Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma” [Hadits Riwayat Abu Daud 2/303, Ibnu Hibban 223, Baihaqi 4/237 dari jalan Muhammad bin Musa dari Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Dan sanadnya SHAHIH].

Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (yang artinya) : “Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air” [Telah lewat Takhrijnya]

3. Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.

Anas Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu.
“Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat” Aku tanyakan (kata Anas), “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an” [Hadits Riwayat Bukhari 4/118, Muslim 1097, Al-Hafidz berkata dalam Al-Fath 4/238 : "Di antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka, (misal) : kira-kira selama memeras kambing. Fawaqa naqah (waktu antara dua perasan), selama menyembelih onta. Sehingga Zaid pun memakai ukuran lamanya baca mushaf sebagai isyarat dari beliau Radhiyallahu 'anhu bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka membaca dan mentadhabur Al-Qur'an". Sekian dengan sedikit perubahan]

Ketahuilah wahai hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian diperbolehkan makan, minum, jima’ selama (dalam keadaan) ragu fajar telah terbit atau belum, dan Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan batasan-batasannya sehingga menjadi jelas, karena Allah Jalla Sya’nuhu mema’afkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima, selama belum ada kejelasan, sedangkan orang yang masih ragu (dan) belum mendapat penjelasan. Sesunguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi. Jelaslah.

4. Hukumnya
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya – dengan perintah yang sangat ditekankan-. Beliau bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu” [Ibnu Abi Syaibah 3/8, Ahmad 3/367, Abu Ya'la 3/438, Al-Bazzar 1/465 dari jalan Syuraik dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Jabir.]

Dan beliau bersabda (yang artinya) : “Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah” [Hadits Riwayat Bukhari 4/120, Muslim 1095 dari Anas].

Kemudian beliau menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau bersabda (yang artinya) : “Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur” [Telah lewat Takhrijnya]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meninggalkannya, beliau bersabda (yang artinya) : “Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan Malaikat-Nya memberi sahalawat kepada orang-orang yang sahur” [Hadits Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/8, Ahmad 3/12, 3/44 dari tiga jalan dari Abu Said Al-Khudri. Sebagaimana menguatkan yang lain]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air” [Hadits Riwayat Abu Ya'la 3340 dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin Amr di Ibnu Hibban no.884 padanya ada 'an-anah Qatadah. Hadits Hasan].

Saya katakan : Kami berpendapat perintah Nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi.
1. Perintahnya.
2. Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab
3. Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas.

Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari 4/139 : Ijma atas sunnahnya. Wallahu ‘alam.

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=307

Petunjuk Berbuka seperti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam

Penulis : Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh


1. Kapan orang yang puasa berbuka ?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam” [Al-Baqarah : 187].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari. Kami telah membawakan (penjelasan ini pada pembasahan yang telah lalu,-ed) agar menjadi tenang hati seorang muslim yang mengikuti sunnatul huda.

Wahai hamba Allah, inilah perkataan-perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada di hadapanmu dapatlah engkau membacanya, dan keadaannya yang sudah jelas dan telah engkau ketahui, serta perbuatan para sahabatnya, Radhiyallahu ‘anhum telah kau lihat, mereka telah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh Abdur Razaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf 7591 dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/199 dan al-Haitsami dalam Majma’ Zawaid 3/154 dari Amr bin Maimun Al Audi : “Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur”.

2. Menyegerakan berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti sunnah Rasuullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyelisihi Yahudi dan Nasrani, karena mereka mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai pada waktu tertentu yakni hingga terbitnya bintang. Maka dengan mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti engkau menampakkan syiar-syiar agama, memperkokoh petunjuk yang kita jalani, yang kita harapkan jin dan manusia berkumpul diatasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada paragraf-paragraf yang akan datang.

a. Menyegerakan berbuka berarti menghasilkan kebaikan.
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka” [Hadits Riwayat Bukhari 4/173 dan Muslim 1093].

b. Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Jika umat Islamiyah menyegerakan berbuka berarti mereka tetap di atas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manhaj Salafus Shalih, dengan izin Allah mereka tidak akan tersesat selama “berpegang dengan Rasul mereka (dan) menolak semua yang merubah sunnah”.

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)” [Hadits Riwayat Ibnu Hibban (891) dengan sanad Shahih, asalnya -telah lewat dalam shahihain- Kami katakan : Syia'h Rafidhoh telah mencocoki Yahudi dan Nasrani dalam mengakhirkan buka hingga terbitnya bintang. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua dari kesesatan.].

c. Menyegerakan berbuka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashrani
Tatkala manusia senantiasa berada di atas kebaikan dikarenakan mengikuti manhaj Rasul mereka, memelihara sunnahnya, karena sesungguhnya Islam (senantiasa) tetap tampak dan menang, tidak akan memudharatkan orang yang menyelisihinya, ketika itu umat Islam akan menjadi singa pemberani di lautan kegelapan, tauladan yang baik untuk diikuti, karena mereka tidak menjadi pengekor orang Timur dan Barat, (yaitu) pengikut semua yang berteriak, dan condong bersama angin kemana saja angin beriup.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka [1], karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya” [Hadits Riwayat Abu Dawud 2/305, Ibnu Hibban 223, sanadnya Hasan]

Kami katakan :
Hadits-hadits di atas mempunyai banyak faedah dan catatan-catatan penting, sebagai berikut :
1. Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Islam, bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Kremlin atau mencari makan di Gedung Putih (Istana Kepresidenan Amerika, red) -mudah-mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat manusia, jadi pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam masalah Aqidah dan Manhaj.

2. Berpegang dengan Islam baik secara global maupun rinci, berdasarkan firman Allah (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam Islam secara kaffah” [Al-Baqarah : 208].

Atas dasar inilah, maka ada yang membagi Islam menjadi inti dan kulit, (ini adalah pembagian) bid’ah jahiliyah modern yang bertujuan mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran kekhawatiran. (Hal ini) tidak ada asalnya dalam agama Allah, bahkan akhirnya akan merembet kepada perbuatan orang-orang yang dimurkai Allah, (yaitu) mereka yang mengimani sebagian kitab dan mendustakan sebagian yang lainnya ; kita diperintah untuk menyelisihi mereka secara global maupun terperinci, dan sungguh ! kita mengetahui buah dari menyelisihi Yahudi dan Nasrani adalah tetap (tegak)nya agama lahir dan batin.

Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan kepada mukminin tidak akan terputus, perkara-perkara baru yang menimpa umat Islam tidak menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan sampai kita mengatakan seperti perkataan kebanyak mereka : “Ini perkara-perkara kecil, furu’. khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya, kita pusatkan kesungguhan kita untuk perkara besar yang memecah belah shaf kita dan mencerai-beraikan barisan kita.

Perhatikanlah wahai kaum muslimin, da’i ke jalan Allah di atas basyirah, engkau telah tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa jayanya agama ini bergantung pada disegerakannya berbuka puasa yang dilakukan tatkala lingkaran matahari telah terbenam,

Maka bertaqwalah kepada Allah (wahai) setiap orang yang menyangka berbuka ketika terbenamnya matahari adalah fitnah, dan seruan untuk menghidupkan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan bodoh, menjauhkan umat Islam dari agamanya atau menyangka (hal tersebut) sebagai dakwah yang tidak ada nilainya, (yang) tidak mungkin seluruh muslimin berdiri di atasnya, karena hal itu adalah perkara furu’, khilafiyah atau masalah kulit!! Walaa haula walaa quwwata illa billah.

d. Berbuka sebelum shalat maghrib
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka sebelum shalat Maghrib [Hadits Riwayat Ahmad (3/164), Abu Dawud (2356) dari Anas dengan sanad Hasan] karena menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para nabi. Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu : “Tiga perkara yang merupakan akhlak para Nabi : menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan (kanan, red) di atas tangan kiri dalam shalat” [Hadits Riwayat Thabrani dalam Al-Kabir sebagaimana dalam Al-Majma (2/105) dia berkata : "..... marfu' dan mauquf shahih adapaun yang marfu' ada perawi yang tidak aku ketahui biografinya". Aku katakan Mauquf -sebagaimana telah jelas- mempunyai hukum marfu'].

3. Berbuka dengan apa ?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan korma, kalau tidak ada korma dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin” [At-Taubah : 128].

Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu yang manis, lebih membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan, terutama badan yang sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (korma). Adapun air, karena badan ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air akan sempurna manfaatnya dengan makanan.

Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya korma mengandung berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap hati dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang berittiba’. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu (ia berkata) :(yang artinya) : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan korma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan korma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air” [Hadits Riwayat Ahmad (3/163), Abu Dawud (2/306), Ibnu Khuzaimah (3/277,278), Tirmidzi 93/70) dengan dua jalan dari Anas, sanadnya shahih].

4. Yang diucapkan ketika berbuka
Ketahuilah wahai saudaraku yang berpuasa – mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sesungguhnya engkau punya do’a yang dikabulkan, maka manfaatkanlah, berdo’alah kepada Allah dalam keadaan engkau yakin akan dikabulkan, -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do’a dari hati yang lalai-. Berdo’alah kepada-Nya dengan apa yang kamu mau dari berbagai macam do’a yang baik, mudah-mudahan engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tiga do’a yang dikabulkan : do’anya orang yang berpuasa, do’anya orang yang terdhalimi dan do’anya musafir” [Hadits Riwayat Uqaili dalam Ad-Dhu'afa' (1/72), Abu Muslim Al-Kajji dalam Juz-nya, dan dari jalan Ibnu Masi dalam Juzul Anshari {..} sanadnya hasan kalau tidak ada 'an-'annah Yahya bin Abi Katsir, hadits ini punya syahid yaitu hadits selanjutnya.]

Do’a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berbuka berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tiga orang yang tidak akan ditolak do’anya : orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do’anya orang yang didhalimi” [Hadits Riwayat Tirmidzi (2528), Ibnu Majah (1752), Ibnu Hibban (2407) ada jahalah Abu Mudillah.]

Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki doa yang tidak akan ditolak” [Hadits Riwayat Ibnu Majah (1/557), Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128), Thayalisi (299) dari dua jalan Al-Bushiri berkata : (2/81) ini sanad yang shahih, perawi-perawinya tsiqat.].

Do’a yang paling afdhal adalah do’a ma’tsur dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau jika berbuka mengucapkan “Dzahabad-dhoma’u wabtalatil ‘uruuqu watsabbatil ajru insya Allah” (yang artinya) : “Telah hilang dahaga dan telah basah uart-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah” [Hadits Riwayat Abu Dawud 92/306), Baihaqi (4/239), Al-Hakim (1/422) Ibnu Sunni (128), Nasaai dalam 'Amalul Yaum (296), Daruquthni (2/185) dia berkata : "sanadnya hasan". Aku katakan : memang seperti ucapannya.]

5. Memberi makan orang yang (berbuka, red) puasa
Bersemangatlah wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkatimu dan memberi taufik kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan taqwa- untuk memberi makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan kebaikannya banyak.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun” [Hadits Riwayat Ahmad (4/144,115,116,5/192) Tirmidzi (804), ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban (895), dishahihkan oleh Tirmidzi.]

Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia harus berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak akan dikurangi pahalanya sedikitpun.

Orang yang diundang disunnahkan mendo’akan pengundangnya setelah selesai makan dengan do’a-do’a dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Telah makan makanan kalian orang-orang bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo’akan kebaikan) atas kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian” [Hadits Riwayat Abi Syaibah (3/100), Ahmad (3/118), Nasa'i dalam 'Amalul Yaum" (268), Ibnu Sunni (129), Abdur Razak (4/311) dari berbagai jalan darinya, sandnya shahih. Peringatan : Apa yang ditambahkan oleh sebagian orang tentang hadits ini : "Allah menyebutkan di majlis-Nya" adalah tidak ada asalnya. Perhatikan !!]

Doa’ “Allahumma ath ’im man ath ‘amanii, wa as qi man saqoonii” (yang artinya) : “Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan, berilah minum orang yang memberiku minum” [Hadits Riwayat Muslim 2055 dari Miqdad]

Do’a “Allahummagh fir lahum warhamhum wa baarak fiima rozaq tahum” (yang artinya) : “Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah, berilah barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan” [Hadits Riwayat Muslim 2042 dari Abdullah bin Busrin]

Footnote :
[1]. Hal ini bukan berarti, jika manusia telah terlena dengan dunianya hingga mereka mengakhirkan bbukan mengikuti Yahudi dan Nasrani, kemudian agama ini menjadi kalah, tidak demikian keadaannya, Islam senantiasa akan menang kapanpun juga, dan dimanapun tempatnya. Wallahu a’lam, -ed

(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=313

Kelapangan dan Kemudahan dalam Puasa Ramadhan

Penulis : Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh

1. Musafir
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berfirman (yang artinya) : “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185].

Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?” -dia banyak melakukan safar- maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau” [Hadits Riwayat Bukhari 4/156 dan Muslim 1121].

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa” [Hadits Riwayat Bukhari 4/163 dan Muslim 1118].

Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdhal adalah berbuka berdasarkan hadits-hadits yang umum, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(yang artinya) : “Sesungguhnya Allah menyukai didatanginya rukhsah yang diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat” [Hadits Riwayat Ahmad 2/108, Ibnu Hibban 2742 dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih].

Dalam riwayat lain disebutkan (yang artinya) : “Sebagaimana Allah menyukai diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan” [Hadits Riwayat Ibnu Hibban 364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas dengan sanad yang Shahih. Dalam hadits -dengan dua lafadz ini- ada pembicaraan yang panjang, namun bukan di sini tempat menjelaskannya].

Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam mengqadha’ dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan dengan gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu.

“Para sahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa (maka) itu baik (baginya), dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu baik (baginya)” [Hadits Riwayat Tirmidzi 713, Al-Baghawi 1763 dari Abu Said, sanadnya Shahih walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi, riwayat Abul A'la darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijili dan lainnya.]

Ketahuilah saudaraku seiman -mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman agama- sesungguhnya puasa dalam safar, jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tetapi berbuka lebih utama dan lebih dicintai Allah. Yang mejelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa orang sahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya) : “Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar” [Hadits Riwayat Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir].

Peringatan :
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang ini tidak diperbolehkan berbuka, sehingga (berakibat ada yang) mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat bahwa puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini. Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata (yang artinya) : “Dan tidaklah Tuhanmu lupa” [Maryam : 64].

Dan juga firman-Nya “Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui” [Al-Baqarah : 232]

Dan firman-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar (yang artinya) : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185]

Yakni, kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syari’at. cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyari’atkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang bermanfaat bagi mereka. Allah berfirman (yang artinya) : “Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan) ; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui ?” [Al-Mulk : 14].

Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia, bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mukmin yang tidak mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya (yang artinya) : “Kami dengar dan kami taat, (Mereka berdo’a) : “Ampunilah kami yang Tuhan kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali” [Al-Baqarah : 285]

2. Sakit
Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, dan kemudahan bagi orang yang sakit tersebut. Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang apabila dibawa berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu a’alam

3. Haid dan nifas
Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan berpuasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha, kalaupun keduanya puasa (maka puasanya) tidak sah. Akan datang penjelasannya, Insya Allah…

4. Kakek dan nenek yang sudah lanjut usia
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Kakek dan nenek yang lanjut usia, yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin” [Hadits Riwayat Bukhari 4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul bari 8/180. Nailul Authar 4/315. Irwaul Ghalil 4/22-25. Ibnul Mundzir menukil dalam Al-Ijma' no. 129 akan adanya ijma (kesepakatan) dalam masalah ini].

Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca ayat (yang artinya) : “Orang-orang yang tidak mampu puasa harus mengeluarkan fidyah makan bagi orang miskin” [Al-Baqarah : 184].

Kemudian beliau berkata : “Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan kemudian berbuka, harus memberi makan seorang miskin setiap harinya 1/2 gantang gandum” [Lihat ta'liq sebelumnya].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu : “Barangsiapa yang mencapai usia lanjut dan tidak mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap harinya satu mud gandum” [Hadits Riwayat Daruquthni 2/208 dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih dia dhaif, tapi punya syahid (penguat, red)].

Dari Anas bin Malik (bahwa) beliau lemah (tidak mampu untuk puasa) pada satu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah Tsarid dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyang. [Hadits Riwayat Daruquthni 2/207, sanadnya shahih]

5. Wanita hamil dan menyusui
Di antara rahmat Allah yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah adalah Allah memberi rukhsah (keringanan) pada mereka untuk berbuka, dan diantara mereka adalah wanita hamil dan menyusui.

Dari Anas bin Malik [1], ia berkata : “Kudanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku temukan beliau sedang makan pagi, beliau bersabda, “Mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang masalah puasa. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala menggugurkan 1/2 shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa”. Demi Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satunya. Aduhai sesalnya jiwaku, kenapa aku tidak (mau) makan makanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Hadits Riwayat Tirmidzi 715, Nasa'i 4/180, Abu Daud 3408, Ibnu Majah 16687. Sanadnya hasan (baik, red) sebagaimana pernyataan Tirmidzi]

Footnote :
[1]. Dia adalah Al-Ka’bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshari pembantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ia adalah seorang pria dari bani Abdullah bin Ka’ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau hanya meriwayatkan satu hadits saja dari Nabi, yakni hadits di atas.

(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=312

Hal yang wajib dijauhi oleh orang yg shaum (puasa)

Penulis : Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly

Ketahuilah wahai orang yang diberi taufik untuk mentaati Rabbnya Jalla Sya’nuhu, yang dinamakan orang puasa adalah orang yang mempuasakan seluruh anggota badannya dari dosa, mempuasakan lisannya dari perkataan dusta, kotor dan keji, mempuasakan lisannya dari perutnya dari makan dan minum dan mempuasakan kemaluannya dari jima’. Jika bicara, dia berbicara dengan perkataan yang tidak merusak puasanya, hingga jadilah perkataannya baik dan amalannya shalih.

Inilah puasa yang disyari’atkan Allah, bukan hanya tidak makan dan minum semata serta tidak menunaikan syahwat. Puasa adalah puasanya anggota badan dari dosa, puasanya perut dari makan dan minum. Sebagaimana halnya makan dan minum merusak puasa, demikian pula perbuatan dosa merusak pahalanya, merusak buah puasa hingga menjadikan dia seperti orang yang tidak berpuasa.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan seorang muslim yang puasa untuk berhias dengan akhlak yang mulia dan shalih, menjauhi perbuatan keji, hina dan kasar. Perkara-perkara yang jelek ini walaupun seorang muslim diperintahkan untuk menjauhinya setiap hari, namun larangannya lebih ditekankan lagi ketika sedang menunaikan puasa yang wajib.

Seorang muslim yang puasa wajib menjauhi amalan yang merusak puasanya ini, hingga bermanfaatlah puasanya dan tercapailah ketaqwaan yang Allah sebutkan (yang artinya) : “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” [Al-Baqarah : 183]

Karena puasa adalah pengantar kepada ketaqwaan, puasa menahan jiwa dari banyak melakukan perbuatan maksiat berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Puasa adalah perisai”[pelindung, red], telah kami jelaskan masalah ini dalam bab Keutamaan Puasa.

Inilah saudaraku se-Islam, amalan-amalan jelek yang harus kau ketahui agar engkau menjauhinya dan tidak terjatuh ke dalamnya, bagi Allah-lah untaian syair :
 
Aku mengenal kejelekan bukan untuk berbuat jelek tapi untuk menjauhinya
 
Barangsiapa yang tidak tahu kebaikan dari kejelekkan akanterjatuh padanya 

1. Perkataan Palsu
Dari Abu Hurairah, Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Allah Azza wa Jalla butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/99]

2. Perbuatan Sia-sia dan Kotor
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu, katakanlah : Aku sedang puasa, aku sedang puasa ” [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 1996, Al-Hakim 1/430-431, sanadnya SHAHIH]

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam dengan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan tercela ini.

Bersabda As-Shadiqul Masduq yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya (yang artinya) : “ Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata)” [Hadits Riwayat Ibnu Majah 1/539, Darimi 2/211, Ahmad 2/441,373, Baihaqi 4/270 dari jalan Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Sanadnya SHAHIH]

Sebab terjadinya yang demikian adalah karena orang-orang yang melakukan hal tersebut tidak memahami hakekat puasa yang Allah perintahkan atasnya, sehingga Allah memberikan ketetapan atas perbuatan tersebut dengan tidak memberikan pahala kepadanya. [Lihat Al-Lu'lu wal Marjan fima Ittafaqa 'alaihi Asy-Syaikhani 707 dan Riyadhis Shalihin 1215]

Oleh sebab itu Ahlul Ilmi dari generasi pendahulu kita yang shaleh membedakan antara larangan dengan makna khusus dengan ibadah hingga membatalkannya dan membedakan antara larangan yang tidak khusus dengan ibadah hingga tidak membatalkannya. [Rujuklah : Jami'ul Ulum wal Hikam hal. 58 oleh Ibnu Rajab]

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=308

Doa Berbuka Puasa Bulan Ramadhan



'allahumma laka sumtu wa bika aamantu wa ‘alaa rizqika afthartu birahmatika ya arhamarrohimin"

Artinya : “Ya Allah keranaMu aku berpuasa, dengan Mu aku beriman, kepadaMu aku berserah dan dengan rezekiMu aku berbuka (puasa), dengan rahmat MU, Ya Allah Tuhan Maha Pengasih “

Niat Puasa Ramadhan

Niat Puasa Ramadhan

 

nawaitu souma godhin ‘an adaa i, fardhi syahri ramadhaana haadzihis sanati lillahi ta’aalaa

Artinya : “Sengaja aku berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu puasa pada bulan Ramadhan bagi tahun ini kerana Allah Taala “

PUASA DALAM PRESPEKTIF ISLAM

GentaNews - Jumat, 11 September 2009


يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةُ طَعَامٌ مِسْكِيْنٌ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تـَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ َتــعْلَمُوْنَ

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

شَهْرُ مَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كاَنَ مَرِيْضًا أَوْ علَىَ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَياَّمٍ أُخَرَ يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتــكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ علَىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

(beberapa hari yang ditentukan dalam) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Pendahuluan

Puasa, terjadi setiap tahun sekali mengguliri waktu yang terus berputar di Bumi. Rasulullah saww dalam hadîts-nya berkata: “Banyak orang-orang yang berpuasa, akan tetapi mereka hanya mendapatkan lapar dan haus.” Mengapa hal ini sampai terjadi???

Mengapa karamah dan pahala puasa yang sangat mulia ini tidak menempel dalam catatan-catatan buku amal mereka yang termasuk dalam hadîts Rasul tersebut? jawabannya adalah fisik mereka yang menjalankan puasa dikarenakan kepentingan-kepentingan tertentu tanpa disertai niat yang mendalam untuk mempersembahkan kepada Allah Ta’alâ.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 183 di atas, dijelaskan bahwa puasa merupakan sarana atau wasilah menuju gelar yang paling mulia di sisi Allah untuk manusia, yakni Taqwa. Kalau Allah berfirman seperti itu dalam ayatnya tentang hakekat puasa, maka dapat kita raba bahwa adanya hal yang baik dalam puasa, adanya hal yang istimewa dalam relung jiwa puasa dan juga adanya hal yang diridhoi Allah di dalam ibadah puasa, yang jika kita mengerjakannya dengan sungguh-sungguh kita akan mendapatkan gelar taqwa dari-Nya.

Bagi kita, dikarenakan intensitasnya yang diselenggarakan tiap tahun, puasa memang terkesan hal yang biasa saja sebagai rutinitas ibadah. Akan tetapi dalam ayat di atas, puasa seakan-akan menjadi sebuah salah satu ibadah yang benar-benar mempunyai nilai esensi yang tinggi. Oleh karena itu, tulisan ini akan sedikit memberikan rabaan-rabaan tentang kronologi puasa menjadi sebuah ibadah yang tinggi. Saran dan kritik diharapkan diberikan oleh pembaca demi sempurnanya tulisan ini.

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ibadah puasa sudah terealisasi dan kewajibannya juga sudah ditangguhkan sejak pada zaman umat-umat terdahulu, hanya saja diwajibkan kepada para nabi saja, seperti yang telah dikatakan Imam Shadiq as: “sesungguhnya pernah diwajibkan berpuasa di bulan Ramadhankepada seseorang dari umat-umat terdahulu, maka aku berkata bagaimana dengan firman Allah SWT: ” Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu…”
Kemudian beliau menjawab, bahwa perintah puasa di bulan Ramadhan untuk umat terdahulu hanya kepada para nabi, bukan kepada umat-umatnya. Maka Allah memberikan keutamaan atas umat ini dengan memerintahkan untuk berpuasa di bulan Ramadhan kepada Rasul-Nya saww dan juga kepada umatnya”

Pembahasan

Kata taqwa, berasal dari akar kata وقى- يلقى- وقاية, dalam lisanul arab, kata تقوى berarti

( وقي ) وقاهُ اللهُ وَقْياً وَوِقايةً وواقِيةً صانَه قال أَبو مَعْقِل الهُذليّ فَعادَ عليكِ إنَّ لكُنَّ حَظّاً وواقِيةً كواقِيةِ الكِلابِ وفي الحديث فَوقَى أَحَدُكم وجْهَه النارَ وَقَيْتُ الشيء أَقِيه إذا صُنْتَه وسَتَرْتَه عن الأَذى وهذا اللفظ خبر أُريد به الأمر أي لِيَقِ أَحدُكم وجهَه النارَ بالطاعة والصَّدَقة وقوله في حديث معاذ وتَوَقَّ كَرائَمَ أَموالِهم أَي تَجَنَّبْها ولا تأْخُذْها في الصدَقة لأَنها تَكرْمُ على أَصْحابها وتَعِزُّ فخذ الوسَطَ لا العالي ولا التَّازِلَ وتَوقَّى واتَّقى بمعنى ومنه الحديث تَبَقَّهْ وتوَقَّهْ أَي اسْتَبْقِ نَفْسك ولا تُعَرِّضْها للتَّلَف وتَحَرَّزْ من الآفات واتَّقِها وقول مُهَلْهِل ضَرَبَتْ صَدْرَها إليَّ وقالت يا عَدِيًّا لقد وَقَتْكَ الأَواقي
( * قوله « ضربت إلخ » هذا البيت نسبه الجوهري وابن سيده إلى مهلهل وفي التكملة وليس البيت لمهلهل وإنما هو لأخيه عدي يرثي مهلهلاً وقيل البيت ظبية من ظباء وجرة تعطو بيديها في ناضر الاوراق أراد بها امرأته شبهها بالظباء فأجرى عليها أوصاف الظباء )
إِنما أراد الواو في جمع واقِيةٍ فهمز الواو الأُولى ووقاهُ صانَه ووقاه ما يَكْرَه ووقَّاه حَماهُ منه والتخفيف أَعلى وفي التنزيل العزيز فوقاهُمُ الله شَرَّ ذلك اليومِ والوِقاءُ والوَقاء والوِقايةُ والوَقايةُ والوُقايةُ والواقِيةُ كلُّ ما وقَيْتَ به شيئاً وقال اللحياني كلُّ ذلك مصدرُ وَقَيْتُه الشيء وفي الحديث من عَصى الله لم يَقِه منه واقِيةٌ إِلا بإِحْداث تَوْبةٍ وأَنشد الباهليُّ وغيره للمُتَنَخِّل الهُذَلي لا تَقِه الموتَ وقِيَّاتُه خُطَّ له ذلك في المَهْبِلِ قال وقِيَّاتُه ما تَوَقَّى به من ماله والمَهْبِلُ المُسْتَوْدَعُ ويقال وقاكَ اللهُ شَرَّ فلان وِقايةً وفي التنزيل العزيز ما لهم من الله من واقٍ أَي من دافِعٍ ووقاه اللهُ وِقاية بالكسر أَي حَفِظَه والتَّوْقِيةُ الكلاءة والحِفْظُ قال إِنَّ المُوَقَّى مِثلُ ما وقَّيْتُ وتَوَقَّى واتَّقى بمعنى وقد توَقَّيْتُ واتَّقَيْتُ الشيء وتَقَيْتُه أَتَّقِيه وأَتْقِيه تُقًى وتَقِيَّةً وتِقاء حَذِرْتُه الأَخيرة عن اللحياني والاسم التَّقْوى التاء بدل من الواو والواو بدل من الياء وفي التنزيل العزيز وآتاهم تَقْواهم أَي جزاء تَقْواهم وقيل معناه أَلهَمَهُم تَقْواهم وقوله تعالى هو أَهلُ التَّقْوى وأَهلُ المَغْفِرة أَي هو أَهلٌ أَن يُتَّقَى عِقابه وأَهلٌ أَن يُعمَلَ بما يؤدّي إِلى مَغْفِرته وقوله تعالى يا أَيها النبيُّ اتَّقِ الله معناه اثْبُت على تَقْوى اللهِ ودُمْ عليه
( * قوله « ودم عليه » هو في الأصل كالمحكم بتذكير الضمير ) وقوله تعالى إِلا أَن تتقوا منهم تُقاةً يجوز أَن يكون مصدراً وأَن يكون جمعاً والمصدر أَجود لأَن في القراءة الأُخرى إِلا أَن تَتَّقُوا منهم تَقِيَّةً التعليل للفارسي التهذيب وقرأَ حميد تَقِيَّة وهو وجه إِلا أَن الأُولى أَشهر في العربية والتُّقى يكتب بالياء والتَّقِيُّ المُتَّقي وقالوا ما أَتْقاه لله فأَما قوله ومَن يَتَّقْ فإِنَّ اللهَ مَعْهُ ورِزْقُ اللهِ مُؤْتابٌ وغادي فإِنما أَدخل جزماً على جزم وقال ابن سيده فإِنه أَراد يَتَّقِ فأَجرى تَقِفَ مِن يَتَّقِ فإِن مُجرى عَلِمَ فخفف كقولهم عَلْمَ في عَلِمَ ورجل تَقِيٌّ من قوم أَتْقِياء وتُقَواء الأَخيرة نادرة ونظيرها سُخَواء وسُرَواء وسيبويه يمنع ذلك كله وقوله تعالى قالت إِني أَعوذُ بالرحمن منكَ إِن كنتَ تَقِيّاً تأْويله إِني أَعوذ بالله فإِن كنت تقيّاً فسَتَتَّعِظ بتعَوُّذي بالله منكَ وقد تَقيَ تُقًى التهذيب ابن الأَعرابي التُّقاةُ والتَّقِيَّةُ والتَّقْوى والاتِّقاء كله واحد وروي عن ابن السكيت قال يقال اتَّقاه بحقه يَتَّقيه وتَقاه يَتْقِيه وتقول في الأَمر تَقْ وللمرأَة تَقي قال عبد الله ابن هَمَّام السَّلُولي زِيادَتَنا نَعْمانُ لا تَنْسَيَنَّها تَقِ اللهَ فِينا والكتابَ الذي تَتْلُو بنى الأَمر على المخفف فاستغنى عن الأَلف فيه بحركة الحرف الثاني في المستقبل وأَصل يَتَقي يَتَّقِي فحذفت التاء الأُولى وعليه ما أُنشده الأَصمعي قال أَنشدني عيسى بن عُمر لخُفاف بن نُدْبة جَلاها الصَّيْقَلُونَ فأَخْلَصُوها خِفافاً كلُّها يَتَقي بأَثر أَي كلها يستقبلك بفِرِنْدِه رأَيت هنا حاشية بخط الشيخ رضيِّ الدين الشاطِبي رحمه الله قال قال أبو عمرو وزعم سيبويه أَنهم يقولون تَقَى اللهَ رجل فعَل خَيْراً يريدون اتَّقى اللهَ رجل فيحذفون ويخفقون قال وتقول أَنت تَتْقي اللهَ وتِتْقي اللهَ على لغة من قال تَعْلَمُ وتِعْلَمُ وتِعْلَمُ بالكسر لغة قيْس وتَمِيم وأَسَد ورَبيعةَ وعامَّةِ العرب وأَما أَهل الحجاز وقومٌ من أَعجاز هَوازِنَ وأَزْدِ السَّراة وبعضِ هُذيل فيقولون تَعْلَم والقرآن عليها قال وزعم الأَخفش أَن كل مَن ورد علينا من الأَعراب لم يقل إِلا تِعْلَم بالكسر قال نقلته من نوادر أَبي زيد قال أَبو بكر رجل تَقِيٌّ ويُجمع أَتْقِياء معناه أَنه مُوَقٍّ نَفْسَه من العذاب والمعاصي بالعمل الصالح وأَصله من وَقَيْتُ نَفْسي أَقيها قال النحويون الأَصل وَقُويٌ فأَبدلوا من الواو الأُولى تاء كما قالوا مُتَّزِر والأَصل مُوتَزِر وأَبدلوا من الواو الثانية ياء وأَدغموها في الياء التي بعدها وكسروا القاف لتصبح الياء قال أَبو بكر والاختيار عندي في تَقِيّ أَنه من الفعل فَعِيل فأَدغموا الياء الأُولى في الثانية الدليل على هذا جمعهم إِياه أَتقياء كما قالوا وَليٌّ وأَوْلِياء ومن قال هو فَعُول قال لمَّا أَشبه فعيلاً جُمع كجمعه قال أَبو منصور اتَّقى يَتَّقي كان في الأَصل اوْتَقى على افتعل فقلبت الواو ياء لانكسار ما قبلها وأُبدلت منها التاء وأُدغمت فلما كثر استعماله على لفظ الافتعال توهموا أَن التاءَ من نفس الحرف فجعلوه إِتَقى يَتَقي بفتح التاء فيهما مخففة ثم لم يجدوا له مثالاً في كلامهم يُلحقونه به فقالوا تَقى يَتَّقي مثل قَضى يَقْضِي قال ابن بري أَدخل همزة الوصل على تَقى والتاء محركة لأَنَّ أَصلها السكون والمشهور تَقى يَتَّقي من غير همز وصل لتحرك التاء قال أَبو أَوس تَقاكَ بكَعْبٍ واحِدٍ وتَلَذُّه يَداكَ إِذا هُزَّ بالكَفِّ يَعْسِلُ أَي تَلَقَّاكَ برمح كأَنه كعب واحد يريد اتَّقاك بكَعْب وهو يصف رُمْحاً وقال الأَسدي ولا أَتْقي الغَيُورَ إِذا رَآني ومِثْلي لُزَّ بالحَمِسِ الرَّبِيسِ الرَّبيسُ الدَّاهي المُنْكَر يقال داهِيةٌ رَبْساء ومن رواها بتحريك التاء فإِنما هو على ما ذكر من التخفيف قال ابن بري والصحيح في هذا البيت وفي بيت خُفاف بن نَدبة يَتَقي وأَتَقي بفتح التاء لا غير قال وقد أَنكر أَبو سعيد تَقَى يَتْقي تَقْياً وقال يلزم أَن يقال في الأَمر اتْقِ ولا يقال ذلك قال وهذا هو الصحيح التهذيب اتَّقى كان في الأَصل اوْتَقى والتاء فيها تاء الافتعال فأُدغمت الواو في التاء وشددت فقيل اتَّقى ثم حذفوا أَلف الوصل والواو التي انقلبت تاء فقيل تَقى يَتْقي بمعنى استقبل الشيء وتَوَقَّاه وإِذا قالوا اتَّقى يَتَّقي فالمعنى أَنه صار تَقِيّاً ويقال في الأَول تَقى يَتْقي ويَتْقي ورجل وَقِيٌّ تَقِيٌّ بمعنى واحد وروي عن أَبي العباس أَنه سمع ابن الأَعرابي يقول واحدة التُّقى تُقاة مثل طُلاة وطُلًى وهذان الحرفان نادران قال الأَزهري وأَصل الحرف وَقى يَقي ولكن التاءَ صارت لازمة لهذه الحروف فصارت كالأَصلية قال ولذلك كتبتها في باب التاء وفي الحديث إِنما الإِمام جُنَّة يُتَّقى به ويُقاتَل من ورائه أَي أَنه يُدْفَعُ به العَدُوُّ ويُتَّقى بقُوّته والتاءُ فيها مبدلة من الواو لأن أَصلها من الوِقاية وتقديرها اوْتَقى فقلبت وأُدغمت فلما كثر استعمالُها توهموا أَن التاءَ من نفس الحرف فقالوا اتَّقى يَتَّقي بفتح التاء فيهما
( * قوله « فقالوا اتقي يتقي بفتح التاء فيهما » كذا في الأصل وبعض نسخ النهاية بألفين قبل تاء اتقى ولعله فقالوا تقى يتقي بألف واحدة فتكون التاء مخففة مفتوحة فيهما ويؤيده ما في نسخ النهاية عقبه وربما قالوا تقى يتقي كرمى يرمي ) وفي الحديث كنا إِذا احْمَرَّ البَأْسُ اتَّقَينا برسولِ الله صلى الله عليه وسلم أَي جعلناه وِقاية لنا من العَدُوّ قُدَّامَنا واسْتَقْبَلْنا العدوَّ به وقُمْنا خَلْفَه وِقاية وفي الحديث قلتُ وهل للسَّيفِ من تَقِيَّةٍ ؟ قال نَعَمْ تَقِيَّة على أَقذاء وهُدْنةٌ على دَخَنٍ التَّقِيَّةُ والتُّقاةُ بمعنى يريد أَنهم يَتَّقُون بعضُهم بعضاً ويُظهرون الصُّلْحَ والاتِّفاق وباطنهم بخلاف ذلك قال والتَّقْوى اسم وموضع التاء واو وأَصلها وَقْوَى وهي فَعْلى من وَقَيْتُ وقال في موضع آخر التَّقوى أَصلها وَقْوَى من وَقَيْتُ فلما فُتِحت قُلِبت الواو تاء ثم تركت التاءُ في تصريف الفعل على حالها في التُّقى والتَّقوى والتَّقِيَّةِ والتَّقِيِّ والاتِّقاءِ قال والتُّفاةُ جمع ويجمع تُقِيّاً كالأُباةِ وتُجْمع أُبِيّاً وتَقِيٌّ كان في الأَصل وَقُويٌ على فَعُولٍ فقلبت الواو الأُولى تاء كما قالوا تَوْلج وأَصله وَوْلَج قالوا والثانية قلبت ياء للياءِ الأَخيرة ثم أُدغمت في الثانية فقيل تَقِيٌّ وقيل تَقيٌّ كان في الأَصل وَقِيّاً كأَنه فَعِيل ولذلك جمع على أَتْقِياء الجوهري التَّقْوى والتُّقى واحد والواو مبدلة من الياءِ على ما ذكر في رَيّا وحكى ابن بري عن القزاز أَن تُقًى جمع تُقاة مثل طُلاةٍ وطُلًى والتُّقاةُ التَّقِيَّةُ يقال اتَّقى تَقِيَّةً وتُقاةً مثل اتَّخَمَ تُخَمةً قال ابن بري جعلهم هذه المصادر لاتَّقى دون تَقى يشهد لصحة قول أَبي سعيد المتقدّم إنه لم يسمع تَقى يَتْقي وإِنما سمع تَقى يَتَقي محذوفاً من اتَّقى والوِقايةُ التي للنساءِ والوَقايةُ بالفتح لغة والوِقاءُ والوَقاءُ ما وَقَيْتَ به شيئاً والأُوقِيَّةُ زِنةُ سَبعة مَثاقِيلَ وزنة أَربعين درهماً وإن جعلتها فُعْلِيَّة فهي من غير هذا الباب وقال اللحياني هي الأُوقِيَّةُ وجمعها أَواقِيُّ والوَقِيّةُ وهي قليلة وجمعها وَقايا وفي حديث النبي صلى الله عليه وسلم أَنه لم يُصْدِق امْرأَةً من نِسائه أَكثر من اثنتي عشرة أُوقِيَّةً ونَشٍّ فسرها مجاهد فقال الأُوقِيَّة أَربعون درهماً والنَّشُّ عشرون غيره الوَقيَّة وزن من أَوزان الدُّهْنِ قال الأَزهري واللغة أُوقِيَّةٌ وجمعها أَواقيُّ وأَواقٍ وفي حديث آخر مرفوع ليس فيما دون خمس أَواقٍ من الوَرِق صَدَقَةٌ قال أَبو منصور خمسُ أَواقٍ مائتا دِرْهم وهذا يحقق ما قال مجاهد وقد ورد بغير هذه الرواية لا صَدَقة في أَقَلَّ مِن خمسِ أَواقِي والجمع يشدَّد ويخفف مثل أُثْفِيَّةٍ وأَثافِيَّ وأثافٍ قال وربما يجيء في الحديث وُقِيّة وليست بالعالية وهمزتها زائدة قال وكانت الأُوقِيَّة قديماً عبارة عن أَربعين درهماً وهي في غير الحديث نصف سدس الرِّطْلِ وهو جزء من اثني عشر جزءاً وتختلف باختلاف اصطلاح البلاد قال الجوهري الأُوقيَّة في الحديث بضم الهمزة وتشديد الياء اسم لأَربعين درهماً ووزنه أُفْعولةٌ والأَلف زائدة وفي بعض الروايات وُقِية بغير أَلف وهي لغة عامية وكذلك كان فيما مضى وأَما اليوم فيما يَتعارَفُها الناس ويُقَدِّر عليه الأَطباء فالأُوقية عندهم عشرة دراهم وخمسة أَسباع درهم وهو إِسْتار وثلثا إِسْتار والجمع الأَواقي مشدداً وإِن شئت خففت الياء في الجمع والأَواقِي أَيضاً جمع واقِيةٍ وأَنشد بيت مهَلْهِلٍ لقدْ وَقَتْكَ الأَواقِي وقد تقدّم في صدر هذه الترجمة قال وأَصله ووَاقِي لأَنه فَواعِل إِلا أَنهم كرهوا اجتماع الواوين فقلبوا الأُولى أَلفاً وسَرْجٌ واقٍ غير مِعْقَر وفي التهذيب لم يكن مِعْقَراً وما أَوْقاه وكذلك الرَّحْل وقال اللحياني سَرْجٌ واقٍ بَيّن الوِقاء مدود وسَرجٌ وَقِيٌّ بيِّن الوُقِيِّ ووَقَى من الحَفَى وَقْياً كوَجَى قال امرؤ القيس وصُمٍّ صِلابٍ ما يَقِينَ مِنَ الوَجَى كأَنَّ مَكانَ الرِّدْفِ منْه علَى رالِ ويقال فرس واقٍ إِذا كان يَهابُ المشيَ من وَجَع يَجِده في حافِره وقد وَقَى يَقِي عن الأَصمعي وقيل فرس واقٍ إِذا حَفِيَ من غِلَظِ الأَرضِ ورِقَّةِ الحافِر فَوَقَى حافِرُه الموضع الغليظ قال ابن أَحمر تَمْشِي بأَوْظِفةٍ شِدادٍ أَسْرُها شُمِّ السّنابِك لا تَقِي بالجُدْجُدِ أَي لا تشتكي حُزونةَ الأَرض لصَلابة حَوافِرها وفرس واقِيةٌ للتي بها ظَلْعٌ والجمع الأَواقِي وسرجٌ واقٍ إِذا لم يكن مِعْقَراً قال ابن بري والواقِيةُ والواقِي بمعنى المصدر قال أَفيون التغْلبي لَعَمْرُك ما يَدْرِي الفَتَى كيْفَ يتَّقِي إِذا هُو لم يَجْعَلْ له اللهُ واقِيا ويقال للشجاع مُوَقًّى أَي مَوْقِيٌّ جِدًّا وَقِ على ظَلْعِك أَي الزَمْه وارْبَعْ عليه مثل ارْقَ على ظَلْعِك وقد يقال قِ على ظَلْعِك أَي أَصْلِحْ أَوَّلاً أَمْرَك فتقول قد وَقَيْتُ وَقْياً ووُقِيّاً التهذيب أَبو عبيدة في باب الطِّيرَةِ والفَأْلِ الواقِي الصُّرَدُ مثل القاضِي قال مُرَقِّش ولَقَدْ غَدَوْتُ وكنتُ لا أَغْدُو على واقٍ وحاتِمْ فَإِذا الأَشائِمُ كالأَيا مِنِ والأَيامِنُ كالأَشائِمْ قال أَبو الهيثم قيل للصُّرَد واقٍ لأَنه لا يَنبَسِط في مشيه فشُبّه بالواقِي من الدَّوابِّ إِذا حَفِيَ والواقِي الصُّرَدُ قال خُثَيْمُ بن عَدِيّ وقيل هو للرَّقَّاص
( * قوله « للرقاص إلخ » في التكملة هو لقب خثيم بن عدي وهو صريح كلام رضي الدين بعد ) الكلبي يمدح مسعود بن بَجْر قال ابن بري وهو الصحيح وجَدْتُ أَباكَ الخَيْرَ بَجْراً بِنَجْوةٍ بنَاها له مَجْدٌ أَشَمٌّ قُماقِمُ وليس بِهَيَّابٍ إِذا شَدَّ رَحْلَه يقول عَدانِي اليَوْمَ واقٍ وحاتِمُ ولكنه يَمْضِي على ذاكَ مُقْدِماً إِذا صَدَّ عن تلكَ الهَناتِ الخُثارِمُ ورأَيت بخط الشيخ رَضِيِّ الدين الشاطبي رحمه الله قال وفي جمهرة النسب لابن الكلبي وعديّ بن غُطَيْفِ بن نُوَيْلٍ الشاعر وابنه خُثَيْمٌ قال وهو الرَّقَّاص الشاعر القائل لمسعود بن بحر الزُّهريّ وجدتُ أَباك الخير بحراً بنجوة بناها له مجدٌ أَشم قُماقمُ قال ابن سيده وعندي أَنَّ واقٍ حكاية صوته فإِن كان ذلك فاشتقاقه غير معروف قال الجوهريّ ويقال هو الواقِ بكسر القاف بلا ياء لأَنه سمي بذلك لحكاية صوته وابن وَقاء أَو وِقاء رجل من العرب والله أَعلم
Kemudian dilanjutkan dengan ayat setelahnya yakni

أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةُ طَعَامٌ مِسْكِيْنٌ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تـَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ َتــعْلَمُوْنَ

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

Ayat ini menjelaskan tentang hukum amaliyah puasa, yang mana hukum-hukum tersebut sudah dijelaskan dalam disiplin ilmu fiqih. Ayat ini menunjukkan adanya penentuan hari pengerjaan puasa itu, yakni selama sebulan, yang mana keterangan itu didapat dari telaah hadîts. Dalam ayat ini dijelaskan pula siapa-siapa yang berhak untuk mendapatkan ruhsoh/pengecualian untuk tidak melaksanakan puasa. Yakni orang-orang yang sakit, orang-orang yang dalam perjalanan/musafir yang jarak perjalanannya sudah ditentukan dalam ijtihad ulama masing-masing dalam berbagai madzhab, mereka mempunyai kewajiban untuk mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari-hari selanjutnya dan data dikerjakan kapanpun. Kemudian orang-orang yang berat dalam menjalankan puasa, seperti contohnya manula dan ibu hamil/menyusui, maka mereka diberi kewajiban untuk membayar fidyah/kafarah yaitu memberi makan seorang miskin. Perlu digaris bawahi yang dimaksud memberi makan adalah bukan sekedar memberi makanan biasa, tetapi yang dimaksud memberi makan adalah mengenyangkan orang miskin yang dituju.

شَهْرُ مَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كاَنَ مَرِيْضًا أَوْ علَىَ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَياَّمٍ أُخَرَ يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتــكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ علَىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

(beberapa hari yang ditentukan dalam) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Ayat ini memberikan justifikasi, bahwa pada hari bulan Ramadhan (yang telah ditentukan) telah turun Al-Qur’ân. Di sini beberapa ulama baik dari kalangan Ahlussunnah maupun Syiah berbeda pendapat, ada yang mengatakan pada hari ke-17, ada yang mengatakan pada hari ke-19 dan ada pula yang mengatakan pada hari ke-21. Penegasan tentang salah satu ruhsoh untuk tidak berpuasa yakni sakit dan safar/bepergian juga kembali dipaparkan, karena Allah ingin memberikan penekanan bahwa kita (manusia) jangan sampai salah dalam mengambil tindakan apabila kita dalam keadaan safar atau sakit. Kemudian cukupkanlah bilangan (yang sudah ditentukan) agar kita menjadi salah satu hamba yang bertaqwa atas segala perintah-Nya.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Mungkin ayat ini terkesan tidak mempunyai korelasi atau tidak mempunyai hubungan dalam ayat-ayat setelahnya yang menerangkan puasa, sehingga beberapa ulama tidak menggolongkannya ke dalam ayat-ayat puasa. Akan tetapi ada juga ulama yang memaknai bahwa ayat ini juga mempunyai hubungan dengan ayat-ayat puasa sebelumnya. Yakni tentang keistimewaan bulan Ramadhan, di mana pada bulan itu Allah menjanjikan terkabulnya segala hajat dan terpenuhinya segala keinginan baik yang bersifat duniawi ataupun ukhrawi, apabila kita berdoa kepadanya. Kemudian Allah melanjutkan dengan legitimasi agar dipenuhinya segala perintah-Nya atas manusia, termasuk perintah puasa dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya, dan juga untuk beriman kepada-Nya.

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Pada kalimat أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ

(Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu), penggalan ayat ini memberikan indikasi kepada kita bahwa dahulu berjima’ di bulan Ramadhan diharamkan mengingat sucinya bulan Ramadhan. Akan tetapi banyak di antara manusia melanggarnya dan Allah mengetahuinya. Oleh karena itu berkat kasih dan sayang-Nya Allah merubah aturan tersebut dan memperbolehkan para suami istri untuk berjima’ pada malam-malam bulan Ramadhan dan Allah memaafkan dosa-dosa mereka.

Ayat ini juga menjelaskan batas waktu kita diperbolehkan makan dan minum serta juga menjelaskan batas waktu kita untuk berpuasa. Dalam perkara berbuka puasa banyak terjadi komunikasi yang terputus di kalangan masyarakat, umumnya masyarakat menjadikan Adzan Maghrib sebagai pedoman untuk mengakhiri puasa. Akan tetapi sebenarnya tidak seperti itu. Masa buka puasa telah dijelaskan secara gamblang dalam ayat ini yakni
 ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
(Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam).
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ  
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.  

Ada makna yang tersirat dalam penggalan ayat ini, Dr. Umar Shahab MA menjelaskan maksud dari penggalan ayat ini bahwa jika kita berjima’ (pada bulan Ramadhan) maka selayaknya lakukanlah seadanya

 saja dan jangan berlebihan dengan tempo waktu yang lama seperti waktu beri’tikaf dalam masjid.

 تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ 
( 
Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.). Oleh karena itu hal inilah yang menyebabkan dahulu Allah melarang untuk melakukan jima’ pada malam bulan Ramadhan.

Antara Puasa dan Taqwa

Dari semua ritual ibadah yang diperintahkan Allah kepada makhluknya, baik itu shalat, zakat, haji dan lainnya, pada hakikatnya hanya mempunyai satu tujuan, yakni ketaqwaan. Pun juga puasa, puasa juga merupakan salah satu dari sekian banyak sarana untuk menjadikan kita bertaqwa kepada-Nya. Lantas apakah definisi taqwa? Selama ini kita telah salah dalam menginterpretasikan makna taqwa, yakni taqwa adalah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Itu bukanlah definisi taqwa, itu adalah hasil dari adanya sifat taqwa, itu adalah dampak yang dibuat dari adanya sifat taqwa.

Taqwa yang sebenarnya adalah upaya untuk lebih mengendalikan nafsu, sehingga bagi orang-orang yang mempunyai sifat taqwa mereka tidak akan terjerumus dalam nafsu dan hasilnya mereka menjalankan segala perintah Allah dan mereka menjauhi segala larangan Allah.

Puasa juga seperti itu, puasa melatih kita untuk mengendalikan nafsu, baik itu nafsu amarah kita ataupun nafsu hewani (makan, minum dan berjima’) kita, sehingga kita tidak terjebak dala perbuatan dosa. Selain itu selama kita berpuasa, kita dianjurkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Oleh karena itu puasa sangat berhubungan dengan ketaqwaan, karena puasa merupakan salah satu media atau metode untuk menjadikan diri kita sebagai orang-orang yang bertaqwa, selain itu puasa juga merepresentatifkan apa-apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang bertaqwa, maka dengan adanya itu, Allah mewajibkan kita untuk berpuasa كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa).

REFERENSI
Mata kuliah Qur'anic Exegesis 2, atas bimbingan DR. Umar Shahab MA, di ICAS Jakarta
Muhammad Taufiq Ali Yahya. Puasa & Amalan Menggapai Laylatul Qodar. Lentera. Jakarta. 2006

Tautan : http://ridhoyahya89.blogspot.com/2009/09/tafsir-ayat-ayat-puasa.html