Jumat, 28 November 2008

Cermin retak politisi

Seberapa penting urusan moral dalam politik? Sangat penting! Di Amerika Serikat saja yang masyarakatnya liberal, akan menolak skandal apapun yang dilakukan oleh presiden, menteri, anggota DPR, senator atau gubernur negara bagian. Seorang politisi bisa terjungkal karenanya. Namun ada juga yang memanfaatkan skandal demi skandal demi tujuan-tujuan politik, termasuk mendapatkan kekuasaan. Keluarga politikus terkenal biasanya dikejar oleh kalangan lain, apakah kelompok bisnis, artis atau kelompok yang membutuhkan akses politik.
Begitu juga kebohongan publik. Di Inggris, PM Tony Blair terancam jatuh karena dianggap berbohong soal senjata pemusnah massal milik Irak yang ternyata tidak ada ketika AS dan Inggris menginvasi Irak. George W Bush selamat dari impeachment karena mengubah isu ketika serangan ke Irak bukan lagi soal senjata pemusnah massal, melainkan operasi pembebasan untuk Irak. Namun, hasil pemilu sela tahun 2006 ini menunjukkan perubahan sikap masyarakat Amerika yang memenangkan Partai Demokrat, lawan Partai Republik yang mengusung Bush. Skandal dan kebohongan bisa berbuah kekalahan.
Di Indonesia, persoalan moral ini juga yang diangkat dalam pemilu 2004, terutama dalam kampanye Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk (GNTPPB) yang diusung oleh komponen masyarakat sipil seluruh Indonesia. Kriteria Politisi busuk adalah pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, korupsi, dan kekerasan dalam rumah tangga termasuk poligami. Sejumlah nama dilansir karena ditengarai telah melanggar kriteria itu. Sekalipun tidak berdampak luas, kehadiran GNTPPB mampu menyeruak dinamika politik pemilu.
Pada tahun 1966-1967 mahasiswa, ormas keagamaan dan Angkatan Darat mengangkat isu moral untuk menjatuhkan Soekarno dari kursi Presiden. Presiden yang beristri banyak digugat dan dianggap cacat moral. Terdapat nyanyian para demonstran tentang ”sundal” di istana. Soe Hok Gie, misalnya, mencatat tentang tampilan seronok perempuan di Istana yang ditemuinya, ketika berjumpa dengan Soekarno. Tetapi isu ini tidak terlalu laku dijual.
Yang menggerakkan emosi adalah tuduhan betapa Soekarno terlibat G30S dan dianggap melindungi Partai Komunis Indonesia. Indonesiapun terbelah dan bersimbah darah. Kaum intelektual, sastrawan, dokter, dan lapisan menengah lainnya sampai petani miskin dibuang ke Pulau Buru dan tempat-tempat lain. Kekejaman politik menjadi bagian intrinsik dari rezim pembangunan yang dikendalikan oleh Orde Baru.
Tahun 1998 isu moral juga diangkat untuk menjatuhkan Presiden Soeharto. Soeharto dianggap melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tujuan memperkaya diri dan keluarganya Gerakan ini berhasil menjatuhkan Soeharto dari kursinya, sekalipun hukum bicara lain. Namun, jangankan menghasilkan rezim yang lebih bersih, pelbagai skandal lain juga terkuat ke permukaan, ketika rezim demi rezim menggantikan Soeharto. Sasaran tembak yang amat tepat adalah — lagi-lagi — kaum intelektual, bukan birokrat karier.
***
GNTPPB tahun 2004 sebenarnya cukup bagus untuk menyaring calon anggota legislatif, paling tidak membatasi peluang politisi busuk memasuki pintu-pintu kekuasaan. Tapi gerakan ini kurang kuat dan tidak didukung oleh regulasi dan sumberdaya manusia yang sepadan.
Dengan sistem proporsional terbuka yang setengah hati, sejumlah politikus yang dikategorikan busuk masuk ke Senayan dan DPRD. Walau misalnya masyarakat sudah mengikuti saran GNTPPB untuk tidak memilih politisi busuk dan lebih memilih caleg yang bersih, namun politisi busuk yang nomornya berada di urutan atas justru akan menduduki kursi parlemen, walaupun tak mendapat suara satu. Jadi urusan pilih memilih caleg ini ditentukan oleh partai politik dalam rekrutmennya.
Kelemahan inilah yang harus diperbaiki. Wakil rakyat mestinya benar-benar mewakili rakyat, sekalipun bukan berasal dari kelompok yang paling suci dari kesalahan. Hanya saja, tali-temali hubungan kekuasaan bisa menjerambabkan. Para politikus bisa saja datang ke kompleks-kompleks pelacuran untuk mendapatkan satu-dua suara, tetapi tidak ada yang mampu menjamin apakah kompleks itu tetap ada seusai pemilu. Pertanggungjawaban politik langsung hilang ditelan euforia kemenangan.
Ada beberapa cara untuk perbaikan sistem ini. Pertama, adalah penerapan sistem pemilu distrik. Dalam pemilu distrik ini calon anggota legislatif diwajibkan berkampanye keliling kampung atau daerah pemilihannya, sehingga kalau ia tidak dikenal publik tidak akan dipilih. Masyarakat juga jadi lebih dekat dan lebih bisa menilai si calon. Tapi kelemahan sistem ini adalah the winner takes all (pemenang mengambil semua). Banyak suara yang terbuang, terutama merugikan kelompok perempuan dan lapisan menengah bawah.
Alternatif kedua adalah tetap sistem proporsional terbuka tapi calon yang mendapatkan suara terbanyak akan langsung terpilih menjadi anggota legislatif. Cara ini sudah diakomodasi dalam RUU Penyelenggaraan pemilu yang sedang digodok di DPR saat ini. Namun, kelemahannya juga ada, yakni popularitas menjadi ukuran, bukan lagi kompetensi dan kapabilitas. Pemilu 2004 lalu menunjukkan banyaknya artis yang masuk ke Senayan atau DPRD, namun kinerjanya belum semenawan aktingnya dalam film dan sinetron.
Selain sistemnya, aturan masa kampanye juga harus diperpanjang untuk memberikan waktu dan kesempatan kepada masyarakat untuk menilai calon agar tidak salah pilih. Penyesalan bisa berlangsung 5 tahun. Wartawan Senior Nuim Khayyat sering mengulangi cerita bahwa di Afrika ada kerajaan yang mempunyai tradisi rajanya harus memilih istri baru setiap tahun. Wanita-wanita yang paling cantik dan berusia 15 tahun akan menari bertelanjang dada di depan raja untuk dipilih raja. Kelihatannya enak cara memilih ini, tapi sang raja selalu menyesal setiap habis memilih. Selalu ada perasaan betapa yang lebih baik dan lebih cantik gagal terpilih.
Apalagi memilih politisi! Banyak yang tidak mau terang-terangan menyampaikan visi dan misinya, hanya sibuk berkerumun di sekitar sang ketua umum. Atau datang ke rumah orang-orang yang dianggap sakti, lantas berharap cahaya langit bisa mengubah nasib.
Sistem yang adapun harus mengakomodasi prinsip kehati-hatian dalam pemilihan umum baik legislatif maupun eksekutif. Sudah banyak adagium di masyarakat betapa politisi ibarat belut yang kecebur masuk oli, sehingga sulit sekali untuk dipegang, apalagi dikendalikan. Harus ada terobosan-terobosan politik untuk mencegah terjadinya pembelokan aspirasi publik hanya demi kepentingan politisi atau partai politik yang memajukannya dalam pemilu.
***
Masyarakat juga layak diberikan pendidikan politik yang intensif, baik oleh parpol, ormas, LSM, media massa, pemerintah, ataupun KPU. Jangan sampai KPU hanya menjadi event organizer pernikahan (politik) secara seremonial, tanpa peduli kepada para tamu. Panitia pengawas juga perlu diberikan kewenangan besar untuk mengeksekusi temuan-temuan pelanggaran apabila bukti-buktinya cukup kuat.
Perlindungan saksi juga jadi kewajiban agar bersedia memberikan kesaksian tentang pelanggaran aturan pemilu ataupun calon yang terbukti cacat moral. Dari sejumlah kasus korupsi, justru saksi pelaporlah yang sering dipidana pasal pencemaran nama baik. Panwas juga harus serius meneliti dana kampanye, dari mana asalnya, dan dicek kebenaran alamat penyumbang. Apabila terbukti fiktif, panwas harus punya kewenangan untuk menindak pelanggar aturan itu. Penyelewengan kekuasaan muncul dari soal sederhana, namun esensial, seperti ini.
Indonesia jelas butuh puluhan ribu politisi untuk duduk di pemerintahan nasional dan lokal. Kalau dihitung, jumlahnya mencapai kisaran 16.000 orang. Dalam tapak tangan merekalah sebagian cetak biru dan arahan masa depan seluruh anak-negeri dipertaruhkan. Sebaik apapun sistem pemerintahan, katakanlah dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance, akan tidak ada hasilnya apabila para aktornya terdiri dari politisi busuk. Sistem akan turut dibusukkan, lalu negara mengalami pembusukan (state decay).
Sementara, apabila sistemnya kurang baik dan sempurna, namun dikendalikan oleh politisi sekelas Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Muhammad Husni Thamrin, Juanda, J Leimena, Oei Tjoe Tat dan lain-lainnya, justru akan memberikan arah perbaikan dan harapan. Masyarakat jelas membutuhkan cermin untuk berkaca. Apabila cerminnya retak, buram dan berkabut, sulit untuk melihat muka sendiri. Yang terjadi adalah munculnya rasa minder dan selalu ingin membelah cermin itu.
dari sumber yang lupa siapa namanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar