Jumat, 28 November 2008

TRADISI MANDI AIR ASIN DAN MAKAN DI KELUNG

Dalam catatan perjalanan sejarah, tidak ada bangsa atau suku yang tunggal dan tetap. pada kawasan pesisir Tanjung Jabung Timur ini saja misalnya, orang cina, india, dan arab sudah ikut berbaur, begitu pula dengan suku jawa, bugis, makasar, melayu, dan sebagainya, telah pula beranak pinak. Mereka adalah satu, ditengah keragaman budaya dan tradisi.
Sebagai daerah awal berpijaknya sejarah melayu islam di Jambi, Bumi Sepucuk Nipah Serumpun Nibung, mayoritas penduduknya adalah bersuku melayu, dan tentunya eksistensi budaya dan tradisi melayu merupakan bagian penting yang harus menjadi perhatian dan turut dilestarikan.
Walaupun disadari, dibandingkan dengan Pulau Jawa, eksistensi sejarah peninggalan kerajaan islam di luar jawa, khususnya di kabupaten Tanjung Jabung Timur, masih terbilang jauh tertinggal, bukan saja dalam warisan fisik, seperti istana atau mesjid, melainkan juga dalam warisan budayanya. Tiada banyak situs atau artifak yang tersisa, apalagi untuk ditelusuri asal-usulnya.
Walau begitu, menghadapi perjalanan zaman, pengaruh kehadiran mereka bagi masyarakat, tidak lantas musnah begitu saja, bahkan seiring dengan gaung otonomi daerah, mereka yang merasa menjadi pewaris, mulai membangun indentitas daerahnya, yang tentunya mengacu pada warisan leluhur.
Simaklah, apa yang dilakukan masyarakat Kecamatan Nipah panjang, Kabupaten Tanjung jabung Timur, dalam upaya mengangkat harkat tradisi yang sudah lama terpendam, secara berbondong-bondong, dan mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat, tradisi Mandi air asin atau makan dikelung kembali digelar.
Ritual yang selama lima puluh tahun belakangan ini hanya tinggal cerita, kini dapat disaksikan dan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi dan kehidupan masyarakat yang berdiam di daerah pasang surut ini.
Mandi air asin, dan makan dikelung merupakan ritual yang terdiri dari beberapa prosesi yang dilakukan masyarakat dalam usaha menyembuhkan keluarga, atau sanak famili yang sakit. Seperti halnya, usaha pengobatan medis secara modern, ritual pengobatan ini dipercaya akan membawa efek penyembuhan bagi si sakit. bahkan, di percaya pula akan membawa berkah, bagi masyarakat yang mengikuti ritual.
Dengan menegakkan lambang-lambang tradisi, prosesi mandi air asin, dimulai dengan mempersiapkan sesajian bagi sang leluhur, dengan menggunakan miniatur kapal, sesaji yang telah disusun sedemikian rupa, segera di bawa ke suatu tempat. tempat itu bernama Beting Pulau Burung.
Dipilihnya beting pulau burung, karena di percaya, ditempat tersebut, tersimpan panorama kekuatan ghaib, yang mampu mewujudkan harapan bagi kesembuhan si sakit.
Berjarak kurang lebih, dua kilometer dari ibukota kecamatan Nipah Panjang, Dengan menggunakan kapal motor dan speed boat, masyarakat hiruk pikuk, menelusuri sungai Batanghari,yang merupakan rute utama menuju beting pulau burung.
Berbondong-bondong menghantar kepergian si sakit hingga ke beting, Masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan tersebut, pada hari itu, sementara waktu meninggalkan pekerjaan mereka.
Beting merupakan gundukan pasir di tengah sungai, apabila air surut beting tersebut akan terlihat seperti pulau, dan disitu, telah siap terpancang, tempat pemandian bambu,sebagai bagian dari prosesi untuk memandikan si sakit.
Dipandu seorang dukun, yang dipercaya mampu berhubungan dengan kekuatan ghaib, diluar kekuasaan manusia, mantra-mantra pun mulai dikumandangkan, tak ketinggalan empat perawan suci pun disiapkan, untuk ditempatkan di tiap sudut tiang pemandian.
Hal ini dilakukan sebagai syarat, agar komunikasi dari sang dukun kepada kekuatan ghaib, menjadi bertambah lancar, dalam memohon kesembuhan bagi si sakit.
Dengan menggunakan atribut adat melayu timur, bukan hanya si sakit yang menjadi fokus ritual penyembuhan kali ini, keluarga terdekat pun, tak luput menjadi perhatian sang dukun dalam melengkapi kekhidmatan ritual, dengan mengolesi reramuan dan pengasapan kemenyan, ke muka dan sekujur tubuh mereka.
Tak ayal lagi, fenomena kerasukan pun mewarnai ritual ini, bukan hanya sanak keluarga yang telah diolesi dan diasapi ramuan menyan saja, namun masyarakat yang hadirpun, kadang tak luput dari gerak-gerik kerasukan.
Sesaji miniatur kapal mulai diturunkan, ritual pokok mandi air asin pun digelar , semua mata tertuju pada si sakit, yang segera di hantar ke tempat pemandian. kemudian, kembali sang dukun merapalkan doa-doa, mohon kepada sang maha kuasa untuk kesembuhan si sakit.
Ketika tetesan air mandi berjatuhan, dan ketika sesaji miniatur kapal sudah beranjak jauh menuju muara. Berkah yang diharapkan tidak disia-siakan oleh yang hadir. tidak ada batas usia, tua maupun muda berhamburan menceburkan diri ke air mencari berkah. Setiap tetesan air mandi jadi rebutan, begitupun sesaji, hancur berantakan karena berkah yang diharapkan.
Panas terik siang itu, bukan menjadi penghalang bagi sebagian warga untuk tetap mengikuti ritual mandi air asin hingga selesai. bahkan ketika ritual di lanjutkan dengan prosesi makan dikelung, kembali masyarakat berduyun-duyun mengharap berkah selanjutnya.
Walaupun memiliki tujuan yang sama, yaitu mengharap kesembuhan dan mengusir penyakit yang diderita. tradisi mandi air asin, ditilik dari prosesinya berbeda jauh dengan proses tradisi makan di kelung.
Prosesi Makan di kelung, biasanya dilakukan di rumah si sakit atau di tempat-tempat yang dimungkinkan dalam pelaksanaan ritual, tidak ada pemilihan tempat secara istimewa, namun, dalam prosesi ini, peran sang dukun, sama pentingnya, sebagai pemimpin ritual.
Kelung, merupakan sarana dilaksanakannya ritual, berbentuk meja kayu persegi panjang, dan sudah berumur tua, kelung bukan sembarang kelung ini, dipercaya dapat menjadi media perantara, ketika berhubungan dengan kekuatan ghaib.
Sebelum dilakukannya ritual, kelung yang ditempatkan ditengah-tengah kerumunan masyarakat yang hadir, mulai dihiasi dengan beragam aneka bahan makanan, seperti ketan hitam, ketan kuning, kue-kuean dan sebagainya.
Makanan-makanan tersebut dicampur jadi satu, dan dibentuk bak rupa seekor buaya, yang merupakan simbol penguasa laut atau air, doa-doa pun didendangkan. kerasukan roh sang leluhur pun terjadi, menandakan ritual pengobatan segera dimulai.
Sang pasien pun didudukan menghadap sesajian, pemimpin ritual mulai memainkan perannya, dengan pusaka terhunus dan mantra diujung lidah. sang dukun menggerakan kekuatan batinnya, mengusir segala kekuatan buruk, dan mengharapkan datangnya kekuatan baik demi kesembuhan si sakit.
Akhirnya batang tebu dipatahkan, menandakan selesainya ritual buang penyakit, pasien pun dipersilahkan makan dikelung. Setelah itu, masyarakat yang hadir, secara spontan, tanpa dikomando, mulai beranjak berebut berkah, dengan memakan makanan di kelung, tidak ada batasan umur maupun status sosial, semuanya berbaur menjadi satu.
Tanpa disadari, Tradisi dan budaya yang sudah turun temurun ini, kembali terjejak, langkahnya yang lemah, namun pasti, mulai memasuki lorong-lorong waktu menembus zaman. Terlepas sampai kapan tradisi ini akan terulang, sedikit banyak kehadirannya, telah mengangkat harkat budaya dan tradisi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yang terpendam di hati masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar